Halaman

Sabtu, 26 Februari 2011

Sitok

Sonet Situmorang
Malam dingin yang kesepian turun berjingkat dari Eiffel,
seakan ingin cari teman dan menghayati hangat mantel
Seusai risau mondar-mandir di bawah gedung tua
dia dekap kau, penyair terlunta dikutuk kata

Lidahnya lembut
menelusup ke lekuk-lekuk kulit kisut
Jantungmu bagai diremas gairah,
gelembung masa lalu membuncah di sungai sejarah

Berkemaslah, sebelum maut
sembari kenang pohon renah berlumut
yang kau titi melintas jurang
di belantara rimba nenek moyang

Dari dulu Seine mengalir, mengairi akar anemun dan angkuli
Kau pun tahu, tanah air tak sekedar gurun dan melankoli

+++++++++++++++++++++++++++
Prometheus

Dengan rasa sakit yang sama, Prometheus,
aku pun diberangus,
Ketika kugenggam api
kehangatan beranjak
dan buku-buku jari
yang gemetar meraut sajak Baca! Dan akan kudengar rintih
pra penghuni generi laut yang air matanya buih

Ini kali, kali-kali berhasrat merasai lagi
geletar arus dalam nadi,
berbukit menggigil dalam sepi
rindu hangat tubuh lelaki
Kelak, kata-kataku akan menetas
di tebing-tebing cadas
Baca! Dan barangkali kau tak lagi bertanya:
hati siapa diresapi cahaya

Langit berkelepak
mengirim jerit selaksa gagak
Amarah menderu bagai Guntur
jatuh tercurah hujan sangkur
melukai kalbu yang menyeru zaman baru
darahnya mengalir ke dalam sajakku


++++++++++++++++++

Peniup Angin

Peniup angin yang kaukisahkan padaku ketika sebelum subuh
terdengar lenguh menjauh
susut- di padang-padang rumput yang menggelepar
dirambahi birahi kuda liar
telah membekaliku sehimpun getun
ke stasiun
Maka kubayangkan sekuntum kembang
rekah pada sebuah rembang petang
yang belum tersusun
yang kelak akan kautemu begitu kau terperanjat bangun,
dan akan kaupandangi pintu yang lupa kaukunci:
seseorang yang lama kaulupa telah nyelinap ke dalam mimpi Namun
kereta keburu tiba
lalu berlalu membawamu, meninggalkan duka,
sepi menggumpal di pucuk-pucuk menara
Jalanan licin menggelincirkan jejakmu ke kanal,
aku tersesat dalam labirin angan yang banal

Di angkasa salju masih tertebar di antara halimun fajar
bagai sperma dan ovum memancar
Kesunyian
bangkit dari lengang taman,
beku bangku batu, tempatku dulu menunggu kau
turun dari trem lantas bergegas penuh pukau
ke arah harum tembakau
Dari balik pohon oak,
gadis cilik berambut perak menangisi
kupu mati

Angin menghampar, menghantar
suatu senja suarmu samar, kata-kata gemetar:
Cinta bukan padang-padang yang menunggu,
melainkan kincir yang berporos di pusar kalbu,
berderak karena angin,
bergerak karena angin,
Dan kincir yang mengulirkan putting beliung lantaran kaupelintir dengan
lengking dan ruang
ketika malam padang rumput menggelepar
dan lenguh birahi kuda liar,
merekahkan sekuntum kembang
Ddn sedentum kenang
Namun telah ditinggalkan bangku batu itu,
barangkali padang-padang tetap menunggu
Dari jauh kupandang kau turun dari trem, penuh pukau
coba menangkap kupu yang terbang ke harum tembakauku

++++++++++++++++++++++++++++
 Rendra,

Di pelataran, di bawah benderang bulan,
ia bimbing anak-anak dengan dolanan dan nyanyian:
Gobak sodor, jamuran, pencari ubi, ayam hilang,
berkejaran, berjalin dengan melingkar, bergamit bahu memanjang
Di hamparan tanah lapang, di atas rerumputan,
di bawah curah cahaya bulan!

Para orang tua duduk bersila di gelaran tikar pandan,
khusuk berbincang tentang musim, hama, tanaman:
cara berdamai dengan alam yang setiap nyari
dijagai para peri,
berkarib dengan nasib, kekuatan akbar
yang bertahta di luar nalar,
demi tahu
bagaimana menggembalakan waktu,
membaca rahasia semesta
jagat kecil dan jagat besarnya,
menyatukan diri
dengan langit dan bumi
Mengurangi tidur dengan tapa, berjaga hingga malam larut:
bencana bagi yang lena, keberuntungan bagi yang siaga
menyambut

+++++++++++++++++++++++++

Osmosa Asal Mula

Aku bertanya kepada angin,
dari mana asalnya angan
angin menggoyangkan pucuk-pucuk daun
dan kusaksikan pohon-pohon melukis lingkaran tahun

Aku bertanya kepada pohon,
dari mana datangnya waktu,
pohon meekahkan kelopak bunga
dan kusaksikan lebah hinggap menghisap madu

Aku bertanya kepada lebah,
dari apa sel yang tumbuh jadi tubuhku,
lebah menggumam terbang ke dalam gua
dan kusaksikan kelelawar menangkap kuping di
dinding batu

Aku bertanya kepada kelelawar,
dari mana awalnya suara,
kelelawar mengepak sayap ke langit malam
dan kusaksikan embun bergulir serupa sungai

Aku bertanya kepada sungai,
dari mana sumber ai susu
sungai menjulangkan gunung
dan kusaksikan lembah bergaun kabut

Aku bertanya kepada lembah,
dari mana mulanya tabu,
lembah menyingkapkan gaun
dan kusaksikan bumi bugil menggeliat anggun

Aku bertanya kepada bumi,
siapa yang melahirkan Ibu,
bumi tersipu, tapi kudengar laut menyahut,
“Ia bersaksi atas fakta, namun tak berdaya untuk
bicara!”

Aku bertanya kepada laut,
siapa yang menampungnya,
laut menggelora, tapi kerontang
sebelum usai membilang Nama


++++++++++++++++++++++++++++
Engkau Ingin

Semula aku sangka kau gelombang
tapi setiap kali aku renangi
Engkau menggasing bagai angin
Peluh membuncah dan ruh dan tubuh gelisah
adalah ibadah bagi Cinta tak berjamah
Di situ, kunikmatkan teduhmu
sesekali sebelum kau berhembus pergi

Aku buru suara seruling di jauhan
yang kutemukan dedahan bergesekan
Aku termangu tertipu gerakmu
sehening batu di kedalaman rinduku

Kini aku tahu, tak perlu memburumu
Engkau hidup di dalam dan di luar diriku
--tak berjarak namun teramat jauh
teramat dekat namun tak tersentuh

Jika benar engkaulah angin itu
semauku akan kuhirup kamu
Dalam jantung yang berdegup
engkau gairah baru bagi hidup
Mengalirlah darah, mengalir
dalam urat nadi Cintaku
krenamu, Kekasihku!

+++++++++++++++++++++
Copas tag-an org.. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sopan lebih baik bukan berarti ga sopan mungkin tidak baik tapi yang pasti buruknya... (bingung kan??) :P