Halaman

Rabu, 14 April 2010

The Barometer Problem

Sir Ernest Rutherford, Presiden dari Royal Academy, dan penerima Nobel Fisika menceritakan kisah ini:

"Beberapa waktu lalu aku menerima panggilan dari kolegaku. Dia akan memberikan nilai nol untuk ujian salah seorang siswanya, tapi siswa tersebut berkeras dia harus mendapatkan nilai sempurna. Sang instruktur dan siswa teresebut sepakat untuk penengah yang obyektif dan aku yang dipilih".

Soal ujiannya berbunyi: "Tunjukkan cara mengukur tinggi sebuah gedung dengan bantuan barometer."

Siswa itu menjawab: "Bawa barometer tersebut ke puncak gedung, ikatkan dengan sebuah tali, turunkan sampai ke jalan lalu tarik kembali ke atas, ukur panjang tali. Panjang tali itu adalah sama dengan tinggi gedung."

Siswa tersebut berhak meminta nilai penuh karena dia menjawab dengan lengkap dan benar. Di sisi lain, nilai penuh harusnya diberikan atas dasar kompentensi di bidang fisika, dan jawabannya tidak menunjuikkan hal ini. Aku menyarankan ujian ulang. Aku memberikan waktu enam menit untuk menjawab soal yang sama dengan syarat harus dijawab menggunakan dalil-dalil fisika.

Lima menit berlalu, dia masih belum menulis apa-apa. Aku menanyakan apa dia mau menyerah, tapi dia menjawab kalau dia punya banyak solusi, dia cuma memikirkan solusi yang terbaik. Aku menyuruhnya melanjutkan dan pada menit berikutnya dia menyerahkan jawabannya yang berbunyi "Bawa barometer ke puncak gedung, jatuhkan, dan ukur waktunya dengan stopwatch, lalu menggunakan rumus 'jarak=0,5*percepatan*waktu^2, tinggi gedung bisa diukur."

Saat ini aku meminta kolegaku untuk menyerah. Dia setuju dan memberikan siswanya nilai penuh. Saat meninggalkan ruang ujian aku teringat bahwa siswa itu punya beberapa solusi, jadi aku menanyakan solusi apa saja itu.

Siswa itu menjawab, "ada banyak cara mengukur tinggi gedung dengan bantuan barometer. Misalnya, membawa barometer ke luar, lalu mengukur tinggi barometer dan panjang bayangannya, dan mengukur panjang bayangan gedung, dan dengan rumus perbandingan sederhana tinggi gedung bisa diketahui."

"Kalau Anda mau cara yang lebih rumit, ikat barometer dengan tali, ayun seperti bandul di lantai dasar dan di atap untuk menghitung nilai gravitasi. Dari perbedaan nilai gravitasi tinggi gedung bisa dihitung."

"Dengan metode yang sama, bila dari atap talinya di ulur sampai ke dasar lalu diayunkan seperti bandul, tinggi gedung bisa dihitung melalui periode ayunan."

"Ini cara kesukaan saya, bawa barometer ke tempat pemilik gedung lalu katakan: 'Pak, ini ada sebuah barometer, bila Anda memberitahukan tinggi gedung Anda, saya akan memberikan barometer ini."

Saya bertanya apakah dia tidak mengetahui cara konvensional untuk memecahkan masalah tersebut. Dia jawab kalau dia tahu, tapi dia tidak mau terpaku pada satu pola pemikiran saja.

Siswa itu bernama Niels Bohr, peraih Nobel di bidang fisika tahun 1922 dan salah satu ilmuwan fisika yang paling berpengaruh di abad 20.

*diposting Iwan Surya di milis migas indonesia

Rabu, 07 April 2010

Cara huhman2a belajar

Pada dasarnya, huhman2a adalah seorang pemikir. Tidak menyukai melakukan hal-hal yang sama berulang-ulang. Alias, bisa dibilang, benci rutinitas. Karenanya, cepat bosan dan merasa kurang tantangan. Namun, sedikit cuek dengan keadaan sehingga tidak menyadari hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Padahal, merupakan tantangan segar yang sangat menarik.
Berpikir sedikit rumit dengan sudut pandang yang berbeda setiap kalinya untuk mendapatkan celah baru demi solusi yang lebih sederhana. Metoda ini lahir sebagai buah dari kemalasan yang sebenarnya mendasari sifat-sifatnya.
Kelemahan metoda pikir ini jika digunakan terlalu kaku, maka akan membatasi kemampuan memetakan kompleksitas yang memang tidak dapat disederhanakan. huhman2a benci kompleksitas meskipun terkadang tetap diterapkan.
Huhman2a (yg benar huhman2a, huruf H dibuat kapital dalam rangka menghormati posisi awal kalimat)... kembali ke topik semula.. huhman belajar dengan meletakkan keyword pada rapid-call memory-nya dan meletakkan kata-kata penghubung antar keyword diendapkan sebagai di dalam long-term memory. Mengingat dilakukan dengan memanggil keyword dengan cepat kemudian menyusun segala kemungkinan hubungan antar keyword dengan pembobotan hubungan yang sudah pernah diendapkan mencapai 0.8 dari 1. Dengan pembobotan seperti ini memberi konsekuensi, huhman2a selalu sangat yakin dengan sesuatu yang dipahaminya dan memiliki banyak alasan logis untuk mempertahankannya. Walaupun pemanggilan setiap alasan bisa membutuhkan waktu lama, namun huhman2a mengetahui dimana ia bisa mengakses informasi yang mendukung alasan-alasannya. Tidak mudah menggugurkan keyakinannya bahkan dengan argumentasi yang setara. huhman2a lebih percaya pada pemahamannya dibandingkan dengan pemahaman orang lain.
Menganalisa grafik dan gambar dengan sangat baik, tetapi tidak terlalu menyukai kata-kata. Seandainya blog ini menyediakan fasilitas sketsa, maka seluruh kata-kata di sini akan saya transformasinya menjadi bagan, kurva, dan chart. Untuk perbandingan lebih menyukai sistematika tabel komparasi. Pandangan visualnya terhadap segala sesuatu sangat membantu proses berpikirnya.
huhman2a mempelajari segala sesuatu dimulai dari hal-hal global yang merupakan inti suatu topik. Bahkan, begitu globalnya sehingga tulisan sejumlah 200 halaman mungkin hanya disarikan menjadi 2 kalimat saja. Terutama dalam suatu cerita.
Misalnya, tokoh A menjebak tokoh B dengan sangat rapi dan terperinci yang menunjukkan kejeniusan tokoh A tetapi mendapat perlawanan yang sengit oleh tokoh C yang berusaha menyelamatkan tokoh B. Tokoh C menggunakan orang-orang kepercayaan tokoh A untuk menjatuhkannya dari dalam sehingga pertikaian ini dimenangkan oleh C walaupun si A merupakan orang yang berpengaruh.
Demikianlah, suatu cerita yang panjang disarikan oleh huhman2a. Setelah itu, huhman2a mengulangi lagi proses yang sama untuk mendapatkan informasi-informasi yang lebih detail mengenai suatu topik. Kesalahan pemahaman pada tiap prosesnya terus diperbaiki dengan perolehan informasi dari proses-proses berikutnya. Jumlah iterasi tergantung dari kerumitan bahasa dan kompleksitas kasus.
huhman2a tidak cukup layak untuk dikatakan jenius, namun bodoh bukan karakteristiknya. Kemampuan fokusnya terhadap suatu permasalahan mencapai 5 jam berturut-turut dengan delay selama 2 menit saja tiap sejamnya. Karena menurut huhman2a, jenius adalah kemampuan fokus dalam memikirkan sesuatu dengan penyerapan diatas 80% dengan asumsi sudah memiliki pengetahuan dasar, dan diatas 40% jika sama sekali merupakan topik baru. huhman2a cukup kreatif dalam hal-hal yang bersifat strategis dan teknis, namun tidak terlalu memperlihatkan gejala serupa pada hal-hal yang bersifat seni lukis dan musik.