Halaman

Kamis, 11 November 2010

Ritual Tolak Bala Merapi

Awalnya, aku agak sedikit lega karena tidak terdengar desas desus ritual-ritual mistik semenjak amuk merapi beberapa minggu yang lalu.. Sebab, teringat oleh ku disaat aku masih menjadi salah satu penghuni tanah paling damai di Indonesia ini pernah pula terjadi erupsi merapi di tahun 2006 (sebelum gempa besar itu). Suatu malam, sepulang dari pengajian rutin yang biasa aku datangi, aku melihat ada yang berbeda pada setiap rumah disana. Ada tambahan lampu remang dan sesuatu yang bergantung di dekatnya di depan pintu setiap rumah. Tidak jelas pada pandangan pertama, kucoba lihat di pagi hari setelah semua sinar matahari sempurna menghapus jejak-jejak bayangan malam.
Aku lihat dengan jelas, daun serai, bunga dan entah apa lagi yang semuanya diikat dengan tali dan digantungkan di depan pintu. Biasa saja pikirku, ini mungkin budaya jojga yang belum ku ketahui. Sepulang dari kampus, aku seperti biasa nongkrong bersama warga kampung dan teman-temanku. Disanalah jelas semuanya. Memang, aku yang mulai bertanya. Tadinya, jika itu memang budaya mereka, maka aku sebagai pendatang bermaksud ikut menghormati dengan cara menambahkan pernik itu di depan pintu rumah kontrakan kami. Setelah perbincangan yang cukup lama, akhirnya mengertilah kami semua, bahwa itu adalah titah dari Sultan atas rekomendasi dari mbah Marijan agar merapi tidak mengamuk lebih parah. Suatu bentuk simbol tolak bala. Kemudian ku tanyakan, kepada siapa tolak bala ini ditujukan? Mereka jawab, 'kepada penguasa merapi'.
'Ow, gusti Allah maksudnya?', sahutku
'Bukan, tapi kepada penguasa merapi', jawab tetua yang juga ikut nongkrong bersama kami. Sambil membenarkan sarungnya, dia bangkit dan mulai memain-mainkan merpati koleksinya. 
'Adakah penguasa merapi selain Allah?', aku bergumam...
Eeh, setelah beberapa hari, terjadi gempa besar yang ternyata bukan berasal dari merapi, tapi justru dari laut selatan...
'Waah, kita kurang memberi sesajen ke Nyi Roro Kidul', kata mereka.
ckck, mistik disini kental sekali pikirku...
Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi cuma untuk mengetahui bahwa jelas semua itu bukanlah cara tolak bala yang benar.
Nah, ketika aku tidak mendengar ada ritual semacam ini setelah amuk merapi tahun ini, aku pikir yaah, pikiran mereka mungkin sudah berkembang, syukur alhamdulillah.
Tapi ketika membaca artikel ini, kembali aku menyayangkan...

Paguyuban Kebatinan Tri Tunggal (PKTT) Yogyakarta menggelar ritual tolak bala pada Senin (8/11/2010) malam. Ritual tersebut dimaksudkan agar warga Yogyakarta dan sekitarnya terhidar dari mara bahaya akibat letusan Merapi.
Ritual yang dipusatkan di sekitar kawasan Tugu ini diawali dengan mengarak kerbau bule. Mengambil start di SMPN 6 Terban Yogyakarta, iringan-iringan puluhan anggota PKTT menyusuri Jl Sudirman, sebelum akhirnya memulai berbagai acara ritual di Perempatan Jl Sudirman-Mangkubumi-AM Sangaji.
Acara dimulai dengan tari Bedoyo yang dipentaskan dengan elok oleh sembilan penari. Alunan gamelan serta semerbak harum dupa membuat semua yang ada di tempat tersebut larut dalam suasana.
Puncak acara diisi dengan pemotongan seekor Kerbau Bule dan sembilan ayam jago Jurik Kuning sebagai sesaji. Selain itu ada juga getuk lindri dengan bentuk boneka manusia yang berjumlah 99.
Sombo, Anggota PKTT menuturkan, sesaji merupakan simbol manusia dan alam sekitarnya. ”Ritual ini diharapkan dapat terjadi harmonisasi antara manusia dan alam,” katanya.
Kepala kerbau dan sembilan jago Jurik Kuning, rencananya akan dibawa ke lereng Merapi untuk ditanam di sana malam ini juga. "Daging badannya akan dibagikan pada warga," kata Wahadi, anggota lain dari Seyegan. (Dikutip dari kompas.com)

Catatan ini terutama ditujukan pada teman-temanku di Jogja, 
kalian orang yang berpendidikan, sikapilah bencana dengan bijak.
terutama teman-teman di daerah Cokrokusuman, Jetis, Code dan sekitarnya, perjuangan ini masih panjang.

Kaidah Tafsir Al-Quran 2 (Tentang Turunnya Al-Quran)

Kaidah Tafsir 2:
Turunnya Al-Quran terkadang bersamaan dengan penetapan hukum, dan terkadang sebelum penetapan hukum atau sebaliknya.
Penjelasan Kaidah:
Maknan kaidah ini adalah bahwasanya ayat-ayat Al-Quran terkadang turun berbarengan dengan penetapan hukum dan syariat kepada umat Islam, yaitu dengan cara disyariatkannya dengan turunnya Al-Quran ini sesuatu yang sedang diperbincangkan saat itu. Dan ini terjadi pada umumnya Ayat Al-Quran.
Dan pada saat yang lain, ayat yang turun mengandung isyarat terhadap suatu hukum sebelum ditetapka hukum tersebut baik lama maupun beberapa waktu saja sebelum penetapannya.
Dan pada saat yang lain, ayat yang turun membicarakan tentang hukum yang telah disyariatkan di waktu lampau.
Hukum yang dimaksud pada penjelasan ini adalah hukum yang lebih luas dari hukum dalam cakupan fiqih (hukum taklify misalnya), yang dimaksud adalah semua ketetapan yang ditetapkan oleh ayat Al-Quran yang terjadi setelah turunnya ayat.
Implementasi Kaidah:
  1. Contoh ayat yang turun bersamaan dengan penetapan hukum.
Kami mengisyaratkan bahwa jenis ini adalah umumnya Ayat Al-Quran. Contoh-contohnya tak terhitung banyaknya sebagaimana hukum Khamar dan wajibnya Puasa Ramadhan.

2. Contoh ayat yang turun sebelum penetapan hukum.
  • Allah berfirman: “Sungguh telah beruntung orang yang mensucikan diri. Dan dia mengingat nama Tuhan-nya kemudian dia shalat.” (Al-A’la: 14-15) Sebagian ulama salaf –perlu kajian ulang- menafsirkan ayat ini dengan: mensucikan diri dengan zakat fitri dan kemudian ia shalat Iedul fitri. Dan perkara ini hanya disyariatkan di periode Madinah (pada periode Mekkah, belum disyariatkan). Sedangkan ayat ini adalah surat yang turun pada periode Mekkah. Maka, jika kita berlandaskan pada tafsir ini, ayat turun sebelum penetapan hukum.
  • Allah berfirman: “Sungguh, aku bersumpah dengan negri ini. Dan engkau bertempat di negeri ini.” (Al-Balad:1-2) Surat ini termasuk surat Makkiyah. Dan sekelompok besar ulama salaf menafsirkannya dengan: Engkau bertempat di negeri ini (Makkah) pada tahun Fathul Makkah. Sedangkan fathul mekkah terjadi pada periode Madinah.
  • Allah berfirman: “Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (Al-Qamar 45). Ditafsirkan dengan peristiwa hari Badar, padahal surat ini adalah Makkiyah.
  • Allah berfirman: “Sekelompok besar yang berada disana, akan dikalahkan.”  (Shad 11) Ditafsirkan pula sebagai hari Badar. Ibnu Jarir memilih tafsir demikian sementara surat ini turun di Mekkah.
  • Allah berfirman: “Dan orang-orang lain saling berperang di jalan Allah.” (Al-Muzammil:20) Surat ini adalah surat Makkiyah sedangkan pada masa itu tidak ada perang. Perang baru disyariatkan di madinah (setelah hijrah).
3. Contoh ayat yang turun setelah penetapan hukum.
a. Ayat Wudhu. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah, dia berkata: “Kami pergi bersama Rasulullah di sebagian safar kami, sampai jika kami tiba di perbatasan –atau di tentara itu-  terputuslah ikatanku. Maka Rasulullah bangkit mencarinya. Dan orang-orang pun turut pula. Dan tidak ada air... Maka bangkitlah Rasulullah pada saat terjadi krisis air di pagi hari, kemudian Allah menurunkan ayat Tayammum, maka bertayamumlah kalian...” (Al Madinah 2) Sudah diketahui bahwa ayat ini disebutkan pula wudhu disandarkan pada tayammum.
Al-Hafidz Ibnu ‘Abdil Barr berkata : “Para ahli perang sudah familiar bahwasanya Nabi tidak shalat semenjak diwajibkan shalat kecuali pasti berwudhu dulu. Dan tidak ada yang menyangkal ini kecuali orang bodoh atau pembangkang.”
Beliau meneruskan: “Dan hikmah turunnya ayat wudhu –sementara wudhu sendiri telah diamalkan jauh-jauh hari- agar kewajibannya dapat dibaca di dalam Al-Quran.”

b. Ayat tentang shalat Jumat, yaitu firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian diseru untuk shalat pada hari Jumat maka bersegeralah kalian mengingat Allah..” (Al-Jumu’ah: 9) Ayat ini adalah ayat Madinah. Dan jumat diwajibkan di Mekkah sebelum hijrah.
Dan diantara yang membuktikan hal ini adalah riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dengan sanadnya sendiri dari Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik, dia berkata: “Dahulu aku menopang ayahku ketika ia kehilangan penglihatannya. Maka aku tatkala pergi untuk shalat Jum’at, maka ia mendengar adzan dan beristighfar untuk Abu Umamah, As’ad bin Zararah, dan ia mendoakannya. Kemudian aku diam tatkala aku mendengar yang demikian itu dan aku berkata pada diri sendiri, ‘Demi Allah, sesungguhnya ini benar-benar suatu kelemahan. Sesungguhnya aku mendengarnya setiap kali mendengar adzan Jumat memohon ampun bagi Abu Umamah, dan bershalawat baginya, dan aku tidak pernah bertanya mengapa dia?’ Maka aku pergi sebagaimana aku pergi Jumat dahulu. Maka tatkala ia mendengar adzan, dia mohon ampun sebagaimana dahulu dia perbuat. Maka aku berkata padanya,”Wahai ayahku tercinta, apakah aku melihatmu bershalawat kepada As’ad bin Zararah setiap kali engkau mendengar panggilan untuk Jum’at, mengapa?” Dia menjawab: ‘Benar anakku! Dahulu ia yang pertama di antara kita yang shalat Jumat sebelum  Rasulullah datang dari Makkah...”

Majnun-Laila (Kisah Cinta Gurun Pasir)

Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiliki segala macam yang diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil. Ketika semua usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt  memberikan anugerah kepada mereka berdua.
“Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku.
“Kita telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”
Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka.

“Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”

Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Sejak awal, Qais telah memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan melukis.

Ketika sudah cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya beberapa anak saja yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.

Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; karena alasan inilah mereka menyebutnya Laila-”Sang Malam”.
Meski ia baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab-sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat muda, yakni sembilan tahun.

Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila. Mereka buta dan tuli pada yang lainnya.
Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar.

Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan. Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”.
Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun. Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila.

Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat.Ia menghirup angin dari barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.

Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya. Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad embantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik.

Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu kamarnya.Majnun masuk ke kamar, sementara yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah, Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus semilir, ia memejamkan matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais didalamnya. Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya, tentang cintanya.

Pada hari ketika Majnun masuk ke kamar Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh. Bibirnya diberi lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu.Ketika Majnun masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang, ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi.Majnun berdiri di pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah Laila. Akhirnya, mereka bersama lagi!

Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali detak jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan lupa waktu. Salah seorang wanita pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun diluar kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah seorang pengawal. Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dankawan-kawannya sudah jauh pergi.

Sesudah orang-tuanya bertanya kepada Laila, maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa yang telah terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar dimatanya menceritakan segala sesuatunya. Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di rumahnya. Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan bertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama lain, sungguh ia salah besar.

Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang tentang kebahagiaan anak-anak mereka.
Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu 'Cinta dan Kekayaan'. Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa akusanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan."
Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku menolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan terhormat,” jawab ayah Laila.
“Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan ia pun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak.
“Tolong katakan kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”

Ayah Qais tak dapat membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu anaknya adalah teladan utama bagi kawan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak yang paling cerdas dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang dapat dikatakannya. Bahkan, sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya. Sudah lama orang tidak mendengar ucapan bermakna dari Majnun. “Aku tidak akan diam berpangku tangan dan melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri,”pikirnya.
“Aku harus melakukan sesuatu.”

Ketika ayah Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta makan malam untuk menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu, gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisa mengalihkan perhatian Majnun dari Laila, pikir ayahnya. Di pesta itu, Majnun diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan sambil melihat gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagai kesamaan dengan yang dimiliki Laila.
Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan milik Laila; yang lainnyapunya rambut panjang seperti Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum mirip Laila. Namun, tak ada seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya, Malahan, tak ada seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu hanya menambah kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berang dan marah serta menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusaha mengelabuinya. Dengan berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya sebagai berlaku kasar dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga akhirnya jatuh ke lantai dalam keadaan pingsan.

Sesudah terjadi petaka ini,ayahnya memutuskan agar Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini. Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah,tetapi apa yang ia mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hals aja,”
"Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa ,cintaku dan kekasihku tetap hidup.”

Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk anaknya. Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal di dalamnya. Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.

Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada sesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar dengan rambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur dikakinya. “Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah kejauhan. Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apayang akan terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab. Tampaknya, Majnun tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buasitu. Berbagai macam binatang tertarik kepadanya, karena secara naluri mengetahui bahwa Majnun tidak akan mencelakakan mereka. Bahkan, binatang-binatang buas seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan kasih sayang Majnun. Sang musafir itu mendengarkan Majnun melantunkan berbagai kidung pujiannya pada Laila. Mereka berbagi sepotong roti yang diberikan olehnya. Kemudian, sang musafir itu pergi dan melanjutkan petjalanannya.

Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhimya, sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu. Ia mengundang sang musafir ke rumahnya dan meminta keterangan rinci darinya. Merasa sangat gembira dan bahagia bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara untukmenjemputnya. Ketika melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah Majnun dicekam oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya terjerembab dalam keadaan mengenaskan seperti ini. “Ya Tuhanku, aku mohon agar Engkau menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang ayah menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis, “Wahai ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu. Tolong lupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan meringankan beban kesedihan ayah. Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untuk mencinta.”

Ayah dan anak pun saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan terakhir mereka.

Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila lantaran salah dan gagal menangani situasi putrinya. Mereka yakin bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruh keluarga. Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam kamamya. Beberapa sahabat Laila diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia berpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya. Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.
Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya. Namun, mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya melantunkan syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau. Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu tentang kisahnya. Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam perjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri. Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, meskipun ini berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya!

Ketika Amr kembali ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh atau terluka. Ketika pasukan ‘Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”.

Majnun mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka. Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab,
“Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?”
Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, ‘Amr sama sekali tidak bisa memahami hal ini. Apa yang dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun. Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya.

Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta kepadanya. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu.Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.”  Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga. Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena itu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.”
Sekalipun mendengar kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa waktu lamanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.
Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah menjadi semakin lebih dalam lagi. Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Laila”.

Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau mengumumkan cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” .
“Kini, aku harus menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku?."

Tahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah. Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yangsanggup mengusik dan mengganggunya.

Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil mendekatinya. Kendatipun ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berliandan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya. Laila dan Ibn Salam adalah dua orang asing dan mereka tak pernah merasakan hubungan suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar dengan Laila. Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia ditanya. Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya tidak menjanjikan harapan lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim panas, ia pun meninggal dunia.

Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam, padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lama dirindukannya. Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali saja ia menangis. Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana,yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Sementara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama bermalam-malam. Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun. Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun. .Majnun.

Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu,ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Laila. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luarkota . Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.

Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya,perlahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila. Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur disamping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.

Sejarah Provinsi Bengkulu

Nama Bengkulu diambil dari kisah perang melawan orang Aceh yang datang hendak melamar Putri Gading  Cempaka, yaitu Soak Ratu Agung Raja Sungai Serut Akan tetapi lamaran tersebut ditolak sehingga menimbulkan perang. Suku Soak Dalam, adalah saudara kandung Putri Gading Cempaka yang menggantikan Raja Sungai Serut, saat terjadi peperangan berteriak “Empang ka Hulu-Empang ka hulu”: yang artinya hadang mereka (orang Aceh) jangan biarkan mereka menginjakkkan kakinya ditanah kita . Dari kata tersebut lahirlah kata Bangkahulu atau Bengkulu, bangsa Inggris menyebutkannya dengan Bencoolen.
Wilayah Bengkulu telah didiami penduduk sejak zaman prasejarah, hal ini ditunjukan dengan ditemukannya prasasti dibagian utara Bengkulu, yaitu bangunan megalitik type dongson dibagian selatan Bengkulu.
Dalam sejarah Bengkulu terdapat kerajaan-kerajaan kecil yaitu : Selebar, Sungai Serut, Empat Petulai, Indra Pura dan beberapa kerajaan lainnya.
 Kerajaan Selebar merupakan salah satu kerajaan di Bengkulu yang telah melakukan perdagangan ke luar negeri yang ditandai adanya perjanjian dengan Perusahaan Hindia Timur Inggris pada tanggal 12 Juli 1685. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Raja Selebar memberikan hak kepada Inggris untuk membangun gudang dan benteng, hal ini merupakan salah satu penyebab runtuhnya Kerajaan Selebar.
Pada tahun 1712 Yoseph Collet diangkat menjadi Deputi Gubernur, ia meminta izin untuk menggantikan benteng York dan membangun sebuah benteng baru diatas karang, sebuah bukit kecil yang menghadap ke laut sekitar 2 Km dari benteng York. Pada tahun 1714 dimulailah pembangunannya dan selesai pada tahun 1718. Yoseph Colet menyebutnya benteng "Malborough" yang merupakan Duke Of Malborough pertama yang diangkat menjadi pahlawan nasional setelah ia memenangkan sejumlah pertempuran melawan Perancis dan musuh-musuh lainnya.
Pada masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles tahun 1818 – 1824 Bengkulu menjadi terkenal.
Pada Tahun 1825 Inggris yang menguasai Bengkulu melakukan tukar menukar dengan Belanda yang menguasai Malaysia dan Singapura. Belanda selanjutnya menempati benteng Malborough sampai perang dunia II yang pada akhirnya semua wilayah Sumatera diduduki tentara Jepang sampai Jepang menyerah kalah pada tahun 1945. Setelah kemerdekaan RI tahun 1945 benteng tersebut digunakan oleh TNI dan polisi sampai tahun 1970. Setelah kemerdekaan RI Bengkulu merupakan salah satu Keresidenan di Provinsi Sumatera Selatan, baru pada tahun 1968 Bengkulu terwujud menjadi Provinsi yang berdiri sendiri dan lepas dari Provinsi Sumatera Selatan.


Legenda Danau Dendam Tak Sudah (Cerita Rakyat Bengkulu)

Alkisah pada jaman dahulu kala disebuah kampung hiduplah seorang gadis yang cantik jelita, namanya Esi Marliani.  Dia menjalin kasih dengan seorang pria yang tampan nan gagah perkasa kira-kira bernama Buyung. Mereka memadu kasih begitu indahnya. Sekali waktu mereka bernyanyi sambil menari dibawah pohon cempedak. Mereka saling kejar-kejaran mengelilingi pohon cempedak dan kadang mereka berguling-guling direrumputan atau mereka berayun diantara akar-akar pohon beringin. Sampai-sampai rusa, tupai dan biawak iri melihat kemesraan mereka berdua . ohhh, dunia serasa milik mereka berdua saja...

Tapi sayang cinta mereka tak direstui oleh orang tua sang pemuda karena sang pemuda sudah dijodohkan dengan gadis dari kampung tetangga anak gadis kepala suku, si upik Leha, yang memiliki kecantikan yang luar biasa. Betapa kecewanya hati si gadis Esi karena ternyata si buyung juga mencintai anak gadis pak lurah dari desa tetangga itu.

Pada waktu musim kawin, Si buyung dan anak gadis pak lurah dari desa tetangga melangsungkan pernikahannya. Pada hari itu mereka diarak keliling kampung-kampung. Sementara si Esi begitu terluka hatinya. Dia menangis tiadalah hentinya (w00aaa...woaaa..waaaaaa...hiks..hiks..woaaaaaa...).
Burung, kucing dan bebek angsapun turut menangis karenanya. Dan dia begitu dendam dengan si buyung.

Ketika kedua mempelai di arak melewati kampungnya terjadilah keanehan yang diluar akal sehat manusia, linangan air mata Esi begitu derasnya hingga perlahan membanjiri kampungnya dan menenggelamkan iring-iringan arakan mempelai sehingga semua penghuni kampung dan arak-arakan mempelai tenggelam oleh linangan air mata Esi yang akhirnya menjadilah sebuah danau yang kita kenal sekarang sebagai "Danau Dendam Tak Sudah". Esipun ikut tenggelam oleh derai linangan air matanya sendiri.
Alkisah kedua mempelai kemudian berubah jadi sepasang ular tikar. mereka terkadang menampakan diri dari kejauhan danau sementara Esipun berdiri diatas kedua ular tikar tersebut, kakinya yang kiri menginjak ular yang cewek kaki yang kanan menginjak ular yang cowok.

Begitulah kisah dongeng yang sebenarnya tentang "Danau Dendam Tak Sudah". Sekian

Mythologi Suku Rejang

Nyang Serai ( Dewi Padi Suku Rejang ) Dalam kepercayaan mythologi lama, berbagai suku di Indonesia pada jaman dahulu banyak mengenal Dewi Padi sebagai Lambang kesuburan untuk pertanian. Bila di Jawa di kenal dengan nama Dewi Sri, dan orang barat menyebutnya Rice Goddes, maka dalam Mythologi Suku Rejang di kenal dengan nama Nyang Serai (Jan. J.J.M. Wuisman dalam buku Indonesian Houses, halaman 420).
Dalam kebudayaan aslinya dahulu, orang rejang percaya dengan mythologi ini, dimana Nyang Serai di percaya akan memberikan kesuburan kepada padi yang di tanam oleh orang Rejang bila menuruti aturan yang di buat Denying dan menghukum berat bagi yang melanggar hukum yang diberlakukan olehDenying (Panggilan dalam bahasa Rejang untuk Nyang Serai), hukumanya dalam bentuk gagal panen dengan membuat tanaman padi tidak subur atau terkena hama.Tanpa padi orang Rejang akan lemah dan mati demikian menurut cerita mythologi itu, karena padi merupakan makanan pokok orang rejang, sehingga tradisi yang sejak dulu di turunkan oleh leluhur tetap di lestarikan hingga kini, meski jarang, upacara adat Demundang Biniak adalah salah satu Ritual untuk Nyang Serai yang masih bertahan hingga sekarang di Tanah Rejang. Untuk itu orang Rejang harus menghormati Nyang serai dan berlaku baik pada saudara sesama turunan Pat Bikau (Empat petulai) sebagai penghormatan pada leluhurnya yang telah mewariskan tradisi ini turun temurun. Oleh karena itu sekarang, setiap tahun setelah panen raya terutama di daerah Lebong di gelar Upacara adat Demundang Biniak untuk penghormatan kepada Nyang Serai, untuk memulai menanam padi sehingga tetap di berikan hasil panen yang berlimpah.(Jaspan 1964:178). 

Asal Muasal Nama Sumatra

Nama Sumatera berasal dari nama Samudera, kerajaan di Aceh pada abad ke-13 dan ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau Kalimantan yang pernah disebut Borneo, dari nama Brunai, daerah bagian utara pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut Portugis.
Peralihan Samudera (nama kerajaan) menjadi Sumatera (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da Pardenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.
Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudera Hindia dan di sana tertulis pulau Samatrah. Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama Camatarra. Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama Samatara, sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama Samatra. Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu Camatra, dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya Camatora. Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang agak ‘benar’: Somatra. Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: Samoterra, Samotra, Sumotra, bahkan Zamatra dan Zamatora.
Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatera. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah Indonesia: Sumatera

5 reasons 'Vampire Diaries' is better than 'Twilight'

Listen up, Twi-hards!

"Twilight" may get all the headlines ("New Moon" Crosses $200 Mil Mark!" "Kristen Stewart: 'I'm So Not Bella!'").

But "The Vampire Diaries," also a tale of the deadly undead, has quietly built a loyal following, first as a series of young-adult novels and now as a CW TV series.

The two may seem the same -- both are high-school-set dramas about a young mortal girl in love with a brooding vampire guy -- but "The Vampire Diaries" is no "Twilight" wannabe.

With the first 10 episodes of "Diaries" as evidence (all week, the CW is marathoning the season so far on Ch. 11, vamping until the show returns next month), here are five reasons it's better than "Twilight":

1.) Believe it or not, "The Vampire Diaries" came first.

The "Vampire Diaries" book series, by L. J. Smith, started in 1991 -- that's 14 years ahead of Stephenie Meyer's first "Twilight" book, in 2005.

The series went out of print until 2007, when creator Alloy Entertainment -- the company that gave us the "Gossip Girl" book and TV series -- worked on a reissue and shopped around a TV version.

"We certainly saw the success of the 'Twilight' books and felt that there was an opportunity," Alloy Entertainment president Les Morgenstein told The Post.

2.) The Vampire Diaries is bloody, gory and full of killing.

In other words, it's a more traditional vampire horror tale than "Twilight," which is heavy on romance, light on murder.

And while they all look like models in both series, the ones on "Diaries" sometimes get dirty.

"The vampires, while pretty, are still sort of vicious," explained Lindsay Soll, editor of MTV's Hollywood Crush blog. "When they're hungry and about to feed, their fangs come out -- they don't even have fangs in 'Twilight' -- and their veins stick out. They're not afraid to make pretty people ugly."

They're also not afraid to make pretty people die.

There's already a sizable body count and, now that the people of Mystic Falls, Va., are gathering their stakes and fighting back, Morgenstein promised, "There will be more killings."

3.) These sexy vampires actually have sex!

In "Twilight," Bella and Edward lust after each other and yet miraculously manage to avoid having sex. Written by a Mormon, "Twilight" has long been considered an abstinence fantasy.

Not so "Vampire Diaries," which has no falsely neutered innocence.

"We're not pulling any punches," said Morgenstein.

4.) Elena is an independent young woman.

Perhaps "Twilight" is so popular because Bella is a blank slate, an everywoman on which young girls can project fantasies of themselves.

But Elena, of "Diaries," sets an example for young girls as a strong-minded woman.

"She doesn't let her attraction to Stefan completely control her, whereas Bella is totally blinded by her passion," Soll said.

"When Bella finds out that Edward's a vampire, she acts like she's just learned he went to the dentist -- as if it's no big deal." "She gives herself over to Edward, while Elena questions it all, like most people would."

5.) Had it with the Twi-hype? "The Vampire Diaries" is the underdog.

And who doesn't love rooting for an underdog?

Evidently it's a vampire's world right now -- but we get to choose which of many vampire tales to watch. (HBO's "True Blood" will return next June, by the way.).

And since "Twilight" didn't invent vampires, how about giving Bella and Edward's vacant, lovestruck gaze a rest, and resting your eyes on "The Vampire Diaries."



Read more:http://www.nypost.com/p/entertainment/tv/reasons_vampire_diaries_is_better_mw53SSZZbP6gxYnFkZSz3J#ixzz0JOmTYyek