Halaman

Senin, 28 Maret 2011

Gambaru yang mengagumkan...

Intro:
Gambaru... menyebar lebih cepat dari radiasi nuklirnya.
Semangat juang hingga akhir ini sangat membantu menguatkan mereka menghadapi bencana
dan menjadikan kekuatan untuk berusaha memulihkan keadaan setelah porak poranda.
Patut diacungkan jempol. *thumbsup

Chorus:
Tetapi sebagai bangsa yang merdeka,
udah ga jaman lagi mengikut sana-sini.
Kita punya karakter sendiri.

Reff:
Tetaplah merdeka dengan karaktermu.
Sebenarnya bukannya kita ga punya karakter seperti itu,
tapi kita aja yang ga tau bahwa ternyata kita punya!
Saatnya menggali lagi budaya-budaya mulia lokal.
Banyak-banyaklah berbagi dengan orang-orang tua kita. (...3x)

Chorus:
Sekedar menjadikannya inspirasi tak jadi soal,
tapi mengekor sepenuh hati dengan menghilangkan karakter sendiri
adalah penyerahan diri untuk dijajah lagi.

 Reff:
Gambaru versi jepang sifatnya mengerasi diri,
kita punya juga tapi dikombinasikan dengan rasa lemah lembut dan cinta.
Berjuang bersama demi kepentingan bersama.
Hanya saja sekarang kebersamaan inilah yang memudar.
Meskipun semangatnya aku yakin masih tertanam di dada kamu.
Suatu gelora yang tak terpadamkan.
Adakah yang mampu berjuang setiap hari hingga 3.5 abad lebih ?!
Dalam keadaan lapar dikeringati.
Semangat yang sama diwariskan utuh.
Bekal buat generasi berikutnya.
Semuanya dilandasi kelembutan dan rasa cinta..
Cinta rakyat dan tanah air..
Perundingan damai selalu disambut dengan tangan terbuka.
Orang yang hidup sekarang cepat melupakan.

Chorus:
Sekedar menjadikannya inspirasi tak jadi soal,
tapi mengekor sepenuh hati dengan menghilangkan karakter sendiri
adalah penyerahan diri untuk dijajah lagi.

Salam Perjuangan... :)

Ilustrasi: Rakyat Indonesia yang sederhana namun berkarakter juang dalam kebersamaan yang kuat.

Sabtu, 26 Februari 2011

Waduh untuk mu negeri-negeri Islam...


#1
Setiap hari kita belajar, bahwa tidak selamanya siang itu terang...
Kadang kelam berkabut, kadang gelap gerhana, dan kadang sendu berawan.
Namun, ancaman mengintai, tidak pernah tidur...
meski siang kelam, gelap dan sendu,
meski malam dingin, basah, dan suram,
tidak peduli.

Di rumah ini, kita lihat pembunuhan, penjarahan dan kesemena-menaan.
Namun,  dari belaian tangannya yang lembut, berhati-hatilah...
tamu-tamu yang singgah dari gerombolan yang tak mengenal batasan,
para pencuri dan pelaku kejahatan yang menumpahkan darah.

Ini rumah siapa??
hampir saja kita tidak mengenalinya.
Tiba-tiba, gelap, kehilangan cahaya.
DIMANA SAKELARNYA?!

Sekarang mereka ingin menguasai rumah kita.

Tangan hampa...
tak berdaya,
kecuali kembali kepada Kitab Robb-nya..
dan Sunnah Nabi-Nya.

Memanfaatkan cahayanya yang tidak pernah redup..
untuk menapaki lorong-lorong sempit di dalam rumah ini..
fitnah dan huru-hara yang sedang melanda.
Kemanakah bahtera ini membawa kita,
apakah keselamatan atau terpuruk dan karam?!

#2
Cita-cita dan angan-angan merekalah kehancuran rumah ini..
semua orang yang zhalim, iri, dengki dan serakah.
Namun, kesempatan, kitalah yang memberikan.

Di rumah ini, pernah tinggal Amru bin ‘Ash,
Sholaahuddin Al-Ayyubi,
Saifud Din Quthuz, Azh-Zhohr Baibers, Najmud Din Ayyub,
Al-Laits bin Sa’ad, Asy-Syafi’i, Ath-Thohawy, Ibnu Hajar, As-Suyuthi, Ibnu Daqiq Al-‘Id,
para pemimpin yang gagah berani serta ulama yang mulia.

Pemuda di rumah ini adalah para pemberani...
tokoh-tokohnya, laksana gunung yang menjulang..
wanita-wanitanya, merdeka!

Sekarang,
Lihatlah gunung itu, hancur berkeping karena tersedak dari perut sendiri...
Si pemberani, hanya menyisakan telapak kaki..
Orang yang merdeka mengkhawatirkan diri..

Rumah ini ingin dipukulratakan di tanah yang berpasir...
mendarahi anak-anaknya...
Mereka tidak perlu keluar peluru,
peluru itu, dari kita sendiri..
Mereka tidak perlukan palu,
palu itu, palu kita sendiri..

#3
Bertakwalah kepada Allah di rumah-rumah,
mesjid-mesjid dan tempat-tempat ibadah.

Pasir di jalanan terhempas oleh langkah kemarahan..
sedang para pelaku kriminal menyusup dan mencuri kesempatan.
Merusak harta dan menghancurkan bangunan...
sang penyeru tidak mampu menangkap, menghalangi, atau bahkan menahan.

Tentara meninggalkan tugasnya menjaga perbatasan,
berperang melawan di dalam, mengalirkan deras darah di jalanan,
dan rumah-rumah dihancurkan, pun kehormatan.
Mengganti bata retak dengan pasir di jalan.

#4
Hari ini kesepakatan tercipta,
dia harus diruntuhkan.
Lantas ketika matahari terbit esok pagi,
akan dimulai suatu sesi perdebatan..
tentang siapa yang menggantikan.

Kelompok ini sangat banyak, dan keinginan pun beragam.
Sesama mereka ada perselisihan pun pertentangan,
berharap mewarisi satu kekuasaan.

Keburukan mereka tidak lebih sedikit,
dan rumah ini akan terus berada dalam kekacauan,
tidak ada kendali dan entah akan berakhir kapan.

Maka janganlah mengangguk kepada mereka!
Janganlah keluar bersama mereka!
Kembalilah menata ruangan.

Dan jika kalian bersabar dan bertakwa
tidak akan membahayakan kalian tipu-daya mereka sedikitpun
sesungguhnya Allah maha meliputi apa yang mereka perbuat.

Akan terjadi fitnah-fitnah, orang yang duduk lebih baik dari pada orang yang berdiri.
Dan orang yang berdiri lebih baik dari pada orang yang berjalan.
Dan orang yang berjalan lebih baik dari pada orang yang berlari.
Siapa  mengikuti atau menginginkannya, maka fitnah akan membinasakannya.

Maka tetaplah dirumah .. ta’atilah seruan Robb dan Nabi kita ini,
tahanlah lidah dan laksanakanlah yang difardhukan.
Alangkah agungnya apa yang Dia tunjukkan,
alangkah buruknya ajakan orang jahil, demonstran, dan pelaku keonaran.

Halimah...


di tengah Bani Sa'd...,
Tradisi yang berjalan di kalangan bangsa Arab yang relatif sudah maju, mereka mencari wanita-wanita yang bisa menyusui anak-anaknya, sebagai langkah untuk menjauhkan anak-anak itu dari penyakit yang biasa menjalar di daerah yang sudah maju, agar tubuh bayi menjadi kuat, otot-ototnya kekar dan agar keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab. Maka Abdul-Muththalib mencari para wanita yang bisa menyusui bagi beliau. Dia meminta kepada seorang wanita dari Bani Sa'd bin Bakr agar menyusui beliau, yaitu Halimah bin Abu Dzu'aib, dengan didampingi suaminya, Al-Harits bin Abdul-Uzza, yang berjuluk Abu Kabsyah, dari kabilah yang sama.

Halimah bisa merasakan barakah yang dibawa beliau, sehingga mengundang decak kekaguman. Inilah penuturannya, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Ishaq, bahwa Halimah pernah berkisah,...

Suatu kali dia pergi dari negerinya bersama suami dan anaknya yang masih kecil dan disusuinya, bersama beberapa wanita dari Bani Sa'd. Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui. Dia berkata,...
Itu terjadi pada masa paceklik, tak banyak kekayaan kami yang tersisa. Aku pergi sambil naik keledai betina berwarna putih milik kami dan seekor onta yang sudah tua dan tidak bisa diambil air susunya lagi walau setetes pun. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur karena harus meninabobokkan bayi kami yang terus-menerus menangis karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan. Sekalipun kami tetap masih tetap mengharapkan adanya uluran tangan dan jalan keluar. Aku pun pergi sambil menunggang keledai betina milik kami dan hampir tidak pernah turun dari punggungnya, sehingga keledai itu pun semakin lemah kondisinya. Akhirnya kami serombongan tiba di Makkah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari Rasulullah pasti menolaknya, setelah tahu bahwa beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, sebab memang kami mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui. Kami semua berkata, "Dia adalah anak yatim". Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek beliau, karena kami tidak menyukai keadaan seperti itu. Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya, kecuali aku sendiri. Tatkala kami sudah siap-siap untuk kembali, aku berkata kepada suamiku, "Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama teman-temanku wanita tanpa membawa seorang bayi yang kususui. Demi Allah, aku benar-benar akan mendatangi anak yatim itu dan membawanya.
"Memang ada baiknya jika engkau melakukan hal itu. Semoga saja Allah mendatangkan barakah bagi kita pada diri anak itu."

Halimah melanjutkan penuturannya,...
Maka aku pun menemui bayi itu (beliau) dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan-akan aku tidak merasa repot karena mendapat beban yang lain. Aku segera kembali menghampiri tunggangannku, dan tatkala puting susuku kusodorkan kepadanya, bayi itu bisa menyedot air susu sesukanya dan meminumnya hingga kenyang. Anak kandungku sendiri juga bisa menyedot air susunya sepuasnya hingga kenyang, setelah itu keduanya tertidur pulas. Padahal sebelum itu kami tidak pernah tidur sepicing pun karena mengurus bayi kami. Suamiku menghampiri ontanya yang sudah tua. Ternyata air susunya menjadi penuh. Maka kami memerahnya. Suamiku bisa minum air susu onta kami, begitu pula aku, hingga kami benar-benar kenyang. Malam itu adalah malam yang terasa paling indah bagi kami.

"Demi Allah, tahukah engkau wahai Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penih barakah," kata suamiku pada esok harinya.
"Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu," kataku.

Halimah melanjutkan penuturannya,...
Kemudian kami pun siap-siap pergi dan aku menunggang keledaiku. Semua bawaan kami juga kunaikkan bersamaku di atas punggungnya. Demi Allah, setelah kami menempuh perjalanan sekian jauh, tentulah keledai-keledai mereka tidak akan mampu membawa beban seperti yang aku bebankan di atas punggung keledaiku. Sehingga rekan-rekanku berkata kepadaku, "Wahai putri Abu Dzu'aib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah ini keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?"
"Demi Allah, begitulah. Ini adalah keledaiku yang dulu," kataku.
"Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa," kata mereka.
Kami pun tiba di tempat tinggal kami di daerah Bani Sa'd. Aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun milik kami yang lebih subur saat itu. Domba-domba kami datang menyongsong kedatangan kami dalam keadaan kenyang dan air susunya juga penuh berisi, sehingga kami bisa memerahnya dan meminumnya. Sementara setiap orang yang memerah air susu hewannya sama sekali tidak mengeluarkan air susu walau setetes pun dan kelenjar susunya juga kempes. Sehingga mereka berkata garang kepada para penggembalanya, "Celaka kalian! Lepaskanlah hewan gembalaan kalian seperti yang dilakukan gembalanya putri Abu Dzu'aib."
Namun domba-domba mereka pulang ke rumah tetap dalam keadaan lapar dan tak setetes pun mengeluarkan air susu. Sementara domba-dombaku pulang dalam keadaan kenyang dan kelenjar susunya penuh berisi. Kami senantiasa mendapatkan tambahan barakah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui anak susuan kami. Lalu kami menyapihnya. Dia tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi-bayi yang lain. Bahkan sebelum usia dua tahun pun dia sudah tumbuh pesat.
Kemudian kami membawanya kepada ibunya, meskipun kami masih berharap agar anak itu tetap berada di tengah-tengah kami, karena kami bisa merasakan barakahnya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunya. Aku berkata kepadanya, "Andaikan saja engkau sudi membiarkan anak kami ini tetap bersama kami hingga menjadi besar. Sebab aku khawatir dia terserang penyakit yang biasa menjalar di Makkah." Kami terus merayu ibunya agar dia berkenan mengambalikan anak itu tinggal bersama kami.
-----

Rasulullah tinggal di tempat Bani Sa'd, hingga tatkala berumur empat atau lima tahun, terjadi peristiwa pembelahan dada beliau. Begitulah menurut pendapat mayoritas pakar sejarah. Menurut riwayat Ibnu Ishaq peristiwa itu terjadi pada usia tiga tahun.

Muslim meriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah didatangi Jibril, yang saat itu beliau sedang bermain-main dengan beberapa anak kecil lainnya. Jibril memegang beliau dan menelentangkannya, lalu membelah dada dan mengeluarkan hati beliau dan mengeluarkan segumpal darah dari dada beliau, seraya berkata, "Ini adalah bagian syetan yang ada pada dirimu." Lalu Jibril mencucinya di sebuah baskom dari emas, dengan menggunakan air Zamzam, kemudian menata dan memasukkannya ke tempatnya semula. Anak-anak kecil lainnya berlarian mencari ibu susuannya dan berkata, "Muhammad telah dibunuh!" Mereka pun datang menghampiri beliau yang wajah beliau semakin berseri.

Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu, Halimah merasa khawatir terhadap keselamatan beliau, hingga dia mengembalikannya kepada ibu beliau. Maka beliau hidup bersama ibunda tercinta hingga berumur enam tahun.

Aminah merasa perlu mengenang suaminya yang telah meninggal dunia, dengan cara mengunjungi kuburannya di Yatsrib. Maka dia pergi dari Makkah untuk menempuh perjalanan sejauh lima ratus kilometer, disertai pembantu wanitanya, Ummu Aiman. Abdul-Muththalib mendukung hal ini. Setelah menetap selama sebulan di Madinah, Aminah dan rombongannya siap-siap untuk kembali ke Makkah. Dalam perjalanan pulang itu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia di Abwa',  yang terletak antara Makkah dan Madinah.

Kemudian beliau kembali ke tempat kakeknya, Abdul-Muththalib di Makkah.



--------------
Berasal dari Sirah An-Nabawiyah Ibnu Hisyam 1/162-164 dan diceritakan kembali oleh Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury dalam bukunya Sirah Nabawiyah.

Sitok

Sonet Situmorang
Malam dingin yang kesepian turun berjingkat dari Eiffel,
seakan ingin cari teman dan menghayati hangat mantel
Seusai risau mondar-mandir di bawah gedung tua
dia dekap kau, penyair terlunta dikutuk kata

Lidahnya lembut
menelusup ke lekuk-lekuk kulit kisut
Jantungmu bagai diremas gairah,
gelembung masa lalu membuncah di sungai sejarah

Berkemaslah, sebelum maut
sembari kenang pohon renah berlumut
yang kau titi melintas jurang
di belantara rimba nenek moyang

Dari dulu Seine mengalir, mengairi akar anemun dan angkuli
Kau pun tahu, tanah air tak sekedar gurun dan melankoli

+++++++++++++++++++++++++++
Prometheus

Dengan rasa sakit yang sama, Prometheus,
aku pun diberangus,
Ketika kugenggam api
kehangatan beranjak
dan buku-buku jari
yang gemetar meraut sajak Baca! Dan akan kudengar rintih
pra penghuni generi laut yang air matanya buih

Ini kali, kali-kali berhasrat merasai lagi
geletar arus dalam nadi,
berbukit menggigil dalam sepi
rindu hangat tubuh lelaki
Kelak, kata-kataku akan menetas
di tebing-tebing cadas
Baca! Dan barangkali kau tak lagi bertanya:
hati siapa diresapi cahaya

Langit berkelepak
mengirim jerit selaksa gagak
Amarah menderu bagai Guntur
jatuh tercurah hujan sangkur
melukai kalbu yang menyeru zaman baru
darahnya mengalir ke dalam sajakku


++++++++++++++++++

Peniup Angin

Peniup angin yang kaukisahkan padaku ketika sebelum subuh
terdengar lenguh menjauh
susut- di padang-padang rumput yang menggelepar
dirambahi birahi kuda liar
telah membekaliku sehimpun getun
ke stasiun
Maka kubayangkan sekuntum kembang
rekah pada sebuah rembang petang
yang belum tersusun
yang kelak akan kautemu begitu kau terperanjat bangun,
dan akan kaupandangi pintu yang lupa kaukunci:
seseorang yang lama kaulupa telah nyelinap ke dalam mimpi Namun
kereta keburu tiba
lalu berlalu membawamu, meninggalkan duka,
sepi menggumpal di pucuk-pucuk menara
Jalanan licin menggelincirkan jejakmu ke kanal,
aku tersesat dalam labirin angan yang banal

Di angkasa salju masih tertebar di antara halimun fajar
bagai sperma dan ovum memancar
Kesunyian
bangkit dari lengang taman,
beku bangku batu, tempatku dulu menunggu kau
turun dari trem lantas bergegas penuh pukau
ke arah harum tembakau
Dari balik pohon oak,
gadis cilik berambut perak menangisi
kupu mati

Angin menghampar, menghantar
suatu senja suarmu samar, kata-kata gemetar:
Cinta bukan padang-padang yang menunggu,
melainkan kincir yang berporos di pusar kalbu,
berderak karena angin,
bergerak karena angin,
Dan kincir yang mengulirkan putting beliung lantaran kaupelintir dengan
lengking dan ruang
ketika malam padang rumput menggelepar
dan lenguh birahi kuda liar,
merekahkan sekuntum kembang
Ddn sedentum kenang
Namun telah ditinggalkan bangku batu itu,
barangkali padang-padang tetap menunggu
Dari jauh kupandang kau turun dari trem, penuh pukau
coba menangkap kupu yang terbang ke harum tembakauku

++++++++++++++++++++++++++++
 Rendra,

Di pelataran, di bawah benderang bulan,
ia bimbing anak-anak dengan dolanan dan nyanyian:
Gobak sodor, jamuran, pencari ubi, ayam hilang,
berkejaran, berjalin dengan melingkar, bergamit bahu memanjang
Di hamparan tanah lapang, di atas rerumputan,
di bawah curah cahaya bulan!

Para orang tua duduk bersila di gelaran tikar pandan,
khusuk berbincang tentang musim, hama, tanaman:
cara berdamai dengan alam yang setiap nyari
dijagai para peri,
berkarib dengan nasib, kekuatan akbar
yang bertahta di luar nalar,
demi tahu
bagaimana menggembalakan waktu,
membaca rahasia semesta
jagat kecil dan jagat besarnya,
menyatukan diri
dengan langit dan bumi
Mengurangi tidur dengan tapa, berjaga hingga malam larut:
bencana bagi yang lena, keberuntungan bagi yang siaga
menyambut

+++++++++++++++++++++++++

Osmosa Asal Mula

Aku bertanya kepada angin,
dari mana asalnya angan
angin menggoyangkan pucuk-pucuk daun
dan kusaksikan pohon-pohon melukis lingkaran tahun

Aku bertanya kepada pohon,
dari mana datangnya waktu,
pohon meekahkan kelopak bunga
dan kusaksikan lebah hinggap menghisap madu

Aku bertanya kepada lebah,
dari apa sel yang tumbuh jadi tubuhku,
lebah menggumam terbang ke dalam gua
dan kusaksikan kelelawar menangkap kuping di
dinding batu

Aku bertanya kepada kelelawar,
dari mana awalnya suara,
kelelawar mengepak sayap ke langit malam
dan kusaksikan embun bergulir serupa sungai

Aku bertanya kepada sungai,
dari mana sumber ai susu
sungai menjulangkan gunung
dan kusaksikan lembah bergaun kabut

Aku bertanya kepada lembah,
dari mana mulanya tabu,
lembah menyingkapkan gaun
dan kusaksikan bumi bugil menggeliat anggun

Aku bertanya kepada bumi,
siapa yang melahirkan Ibu,
bumi tersipu, tapi kudengar laut menyahut,
“Ia bersaksi atas fakta, namun tak berdaya untuk
bicara!”

Aku bertanya kepada laut,
siapa yang menampungnya,
laut menggelora, tapi kerontang
sebelum usai membilang Nama


++++++++++++++++++++++++++++
Engkau Ingin

Semula aku sangka kau gelombang
tapi setiap kali aku renangi
Engkau menggasing bagai angin
Peluh membuncah dan ruh dan tubuh gelisah
adalah ibadah bagi Cinta tak berjamah
Di situ, kunikmatkan teduhmu
sesekali sebelum kau berhembus pergi

Aku buru suara seruling di jauhan
yang kutemukan dedahan bergesekan
Aku termangu tertipu gerakmu
sehening batu di kedalaman rinduku

Kini aku tahu, tak perlu memburumu
Engkau hidup di dalam dan di luar diriku
--tak berjarak namun teramat jauh
teramat dekat namun tak tersentuh

Jika benar engkaulah angin itu
semauku akan kuhirup kamu
Dalam jantung yang berdegup
engkau gairah baru bagi hidup
Mengalirlah darah, mengalir
dalam urat nadi Cintaku
krenamu, Kekasihku!

+++++++++++++++++++++
Copas tag-an org..